Evaluasi UU Sisdiknas
Utomo Dananjaya
Kompas, Sabtu,
26 November 2011. Peserta didik kelas akhir (SMA, SMP, dan SD) mulai mendapat perlakuan ”istimewa”. Di Jakarta, mereka tidak diliburkan berkenaan pelaksanaan SEA Games seperti adik-adik kelasnya. Mereka tetap masuk seperti biasa karena mulai disiapkan untuk ujian nasional. Perlakuan istimewa ini memang direncanakan untuk membangun suasana siaga menghadapi ancaman UN.
26 November 2011. Peserta didik kelas akhir (SMA, SMP, dan SD) mulai mendapat perlakuan ”istimewa”. Di Jakarta, mereka tidak diliburkan berkenaan pelaksanaan SEA Games seperti adik-adik kelasnya. Mereka tetap masuk seperti biasa karena mulai disiapkan untuk ujian nasional. Perlakuan istimewa ini memang direncanakan untuk membangun suasana siaga menghadapi ancaman UN.
Pelaksanaan UN yang
didasarkan pada SK Menteri Pendidikan Nasional No 47/2007 sebenarnya
bertentangan dengan Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Juga bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung tanggal 19
September 2009.
Dalam UU Sisdiknas tak
ada aturan tentang UN. UU hanya mengatur soal evaluasi. Pasal 57 dan 58
mengatur dua macam evaluasi, yaitu (1) evaluasi dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional; dan (2) evaluasi peserta didik untuk memantau
proses pendidikan.
Pasal 57 (1) berbunyi:
”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan”. Pasal 58 (1) berbunyi: ”Evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Kedua jenis evaluasi
ini berbeda tujuan dan penyelenggaraannya. Pasal 57 berfungsi untuk
pengendalian mutu pendidikan secara nasional, yang diselenggarakan sebagai
akuntabillitas penyelenggara pendidikan, yaitu Menteri Pendidikan Nasional.
Adapun Pasal 58 berfungsi memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan, diselenggarakan oleh pendidik.
Selain itu, ada ujian
untuk memperoleh ijazah sebagai pengakuan kelulusan peserta didik dan diberikan
sebagai tanda penghargaan, tertuang pada Pasal 61 (2). Bunyi pasal ini: ”Ijazah
diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi”.
Jadi, dua macam
evaluasi—pengendalian mutu secara nasional dan evaluasi hasil belajar peserta
didik oleh pendidik—serta ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
adalah tiga hal yang berbeda penyelenggaraan, berbeda tujuan, dan berbeda
fungsinya. Semua itu telah dilanggar oleh SK Menteri Pendidikan Nasional No
47/2007 tentang UN.
Kontroversi UN
Di sini UN berfungsi
apa saja. Pertanggungjawaban menteri sebagai penyelenggara pendidikan dipenuhi
dengan penyelenggaraan UN. Evaluasi hasil belajar peserta didik sebagai
tanggung jawab pendidik dan satuan pendidikan diselenggarakan dengan UN. Ujian
untuk mendapat ijazah juga melalui UN.
UN menyederhanakan dan
mempermudah tanggung jawab menteri, merampas hak guru dan tanggung jawab
sekolah. UU yang mengatur perbedaan dua jenis evaluasi dan satu ujian, yang
menuntut masing-masing memilih cara dan pemikiran di dunia pendidikan sesuai
dengan pertimbangan teori pendidikan, disederhanakan secara gegabah dengan
menyelenggarakan UN.
Tak hanya bertentangan
dengan UU Sisdiknas, UN juga bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung.
Ramainya kritik dan imbauan kepada Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan) agar menghentikan UN gagal melahirkan perubahan.
Setiap tahun diramaikan oleh kejadian-kejadian yang bertentangan dengan fungsi
pendidikan.
Kontroversi ini
terjadi karena kebijakan publik di Indonesia dilakukan secara
tergesa-gesa, tak transparan, dan tak partisipatif. Pemerintah tetap
ngotot agar UN terus dijalankan tanpa memberi pertimbangan yang valid dan sah.
Pemerintah tidak melahirkan kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki mutu
pendidikan dengan menyia-nyiakan hasil UN dan menutup telinga pada masukan
masyarakat pendidikan.
Sebagaimana dimaksud
UU Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, sebuah
intervensi sosial dengan tujuan tertentu. Setiap keputusan intervensi di bidang
pendidikan harus memperhatikan dan melihat intervensi itu dalam konteks lebih
fundamental. Membuat satu program bagi intervensi pendidikan tanpa
mempertimbangkan dampaknya adalah perilaku yang tak bertanggung jawab.
Salah satu dampak UN
paling krusial diabaikannya makna pribadi peserta didik. Mereka hanya dipandang
sebagai sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi. UN dipakai
sebagai tolok ukur kelulusan, merupakan program yang tidak menghargai keunikan
pribadi.
Artinya, pendidikan
disamakan dengan bahan komoditas perdagangan. Jika sudah begitu, logika pasar
menjadi paradigma pendidikan kita dan peserta didik sekadar barang dagangan.
Barang yang bagus diambil, sedangkan yang jelek dibuang karena tidak memenuhi
permintaan pasar.
Wajib belajar
UUD 1945 telah
mengamanatkan semua warga negara agar mengikuti pendidikan dasar (Pasal 31 Ayat
2). Seharusnya segala upaya ditujukan agar semua anak usia 7-15 tahun dapat
menamatkan sekolah sampai SMP. Namun, dengan program UN malah meningkatkan
angka putus sekolah dari SD ke SMP dan putus sekolah SMP ditambah
ketidaklulusan dari UN. Jadi, UN menggagalkan wajib belajar 9 tahun.
UN juga menjerumuskan
kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk berbuat curang dan sikap menerima
perbuatan itu. Kejujuran malah dipandang sebagai antisolidaritas. Dalam
peristiwa contek massal di SDN Gadel 2, Surabaya, yang jujur pun dimusuhi. UN
menghambat pembangunan karakter anak.
Penyelenggaraan UN
dari tahun ke tahun telah melanggar hak asasi manusia, terutama pelanggaran hak
atas pendidikan dan menghambat perkembangan psikologis anak. Penghentian UN
tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) tidak bisa ditunda lagi karena efeknya
telah memberangus amanat UUD 1945.
Penyelenggaraan UN
hanya memboroskan anggaran (Rp 667 miliar tahun 2011) serta bertentangan dengan
dasar filosofi dan teori pendidikan. UN telah mengerdilkan arti pendidikan
dengan tes dan mengubah proses pendidikan jadi persiapan untuk lulus tes
semata, bukan sebagai pembangunan karakter bangsa.
Di AS, adanya kritik
terhadap penyelenggaraan pendidikan di sana membuat Presiden George W Bush
Senior turun tangan, yang akhirnya melahirkan sistem baru. Pembaruan pendidikan
di Malaysia membutuhkan turun tangan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Di
China, Wakil Perdana Menteri Li Lianqing memimpin perbaikan mutu pendidikan. Di
Indonesia, dapatkah Presiden SBY memimpin reformasi pendidikan secara
fundamental untuk peningkatan mutu pendidikan dan mempromosikan pendidikan
karakter?
UTOMO DANANJAYA Direktur
Institute for Education Reform Paramadina
selamat pagi
BalasHapusKabar Gembiraaa !!! bagi kalian SMA/SMK Sederajat Se Jawa Timur, bahwa kami di STIKI malang mengadakan Lomba Design Poster, Lomba Design Web dan Lomba Jaringan.. Kami akan mengundang anda, yang masuk 20 besar untuk datang langsung ke STIKI MALANG.
Registrasi/Pendaftaran ( 28 September s.d 6 Nopember 2015 )
Pengumpulan dokumen ke panitia ( 1 Oktober s.d 13 Nopember 2015 )
Presentasi Finalis ( 19 Nopember 2015 )
info lebih lanjut, anda bisa hub.saya Robi 082331114764 dan lihat website kami http://kemahasiswaan.stiki.ac.id/ssc-2015/